Posted in Uncategorized

Emotional Eating

Either Tante Oprah or Om Bob Greene said that emotional eating is really the root of the problem. You think you like food but that’s just a cover, masking a deeper emotional problem. It took me awhile but yeah, I am too an emotional eater. I eat when I’m bored, stressed, and upset. Though obviously you do need to eat, I now notice that when I’m eating to actually sustain living don’t eat all that much. The extras must’ve come from all those unhappy moment.

I think I’ve done pretty good these days. Sometimes I do eat more, usually when I ate out with my family, or when there’s just that little piece of chocolate cake left, but in general I try to watch what I eat.

However, there are times when I lapse into old habits. Yesterday was one of them. There was miscommunication whcih resulted into cancelled meetings etc so suffice to say I wasted the entire morning and was feeling really low. The first thing that came to mind was that I want to eat good food. So I cab it to my local mall, go to Sushi Tei and ate at the bar. Being upset made me bold so I ogled at the food on parade on the conveyor belt and pick plates I wouldn’t normally. I was actually hungry too, so the first two plate really felt nourishing washed down with warm ocha. But the third plate onwards was just feeding the pain and disappoinment I felt yesterday. In the end I ate six little plate of sushi. I stopped just before I feel really really full. Still, I ate about 2 plates more than I should. I then savour my ocha and taking in the atmosphere. I felt much better.

I walk around the mall a bit then my mother came up and we window shop for a bit before sitting down for coffee. This definitely improve my mood. So much so that I can restrain myself against the cheesecake that my mom ordered and fight down the urge to finish off the slice 😀

I suppose now the job is to train myself to not indulge my pain and overeat. One meal at a time.

Posted in Uncategorized

How I Fell of the (exercise) Wagon

Back in January, thing were going along swimmingly. I exercise everyday for at least 30 minutes. Slowly but surely I increase my time on the treadmill until I manage to stay on for 45 minutes. Until a small accident set me back.

It is actually nothing major but I noticed that my sneakers were becoming a bit loose. It used to fit snugly, now something seems amiss. I didn’t think much of it, in fact I thought it was a sign that I’ve lost some weight that my sneakers are looser. Well, I didn’t and it wasn’t. It was ripped. I was streching when I noticed something red on the shoe. I thought, that’s funny, my shoes doesn’t have any red accent on it. Still, because I was focused on training, I didn’t really check it out. It wasn’t until I sat down to do my sit-ups and was taking off my shoes that I realise the red bit? It wasn’t part of my shoe, it was my bright red socks poking through the gap! Eek! On both sides as well.

Now, this annoys me because I just bought the shoes last September, didn’t really wear regularly until about October thus I really only use it for about 4 months and it ripped already? I didn’t think I was exercising that hard. How can 20 minutes on treadmill everyday called hard training? Not even close!

On normal minded people, they’d just fix the shoes or buy another. Being somewhat abnormal, I put off going to the shoe repair. And when I did go, they told me if they sew it back, it would just rip again so I better off buying new ones. Now, I don’t know whether the shoe repair people were just lazy, uncreative, or they were actually telling the truth and I got ripped off by Nike’s. Whatever. I was bummed. exercising with ripped shoes just don’t feel good. So, what do I do?

I stop exercising.

I fell off the wagon. I jump ship. I sulked.

I want new sneakers. But the ones I wanted were pricey, and I didn’t feel like spending that much money on something that would be broken 4 months later. Oy! I tried wearing my older sneaker. Boy, those even felt worse.

Until an angel saw my plight and shone the light on me.

Ok that was bombastic 😉 What happened was, as we generally spend either Sunday or Saturday lunching at the local mall, my dearest husband finally noticed how I always look at sneakers, pick them up, turn them around, sigh, then put it back. This happened for a few weekends until he said,”Well, just pick one and I’ll pay for it!” Oh my love, you came through for moi! 😉

I picked a pink Reebok pair that supposedly gives a percentage of the sale towards the pink ribbon campaign. Yes, my aunt is a breast cancer survivor so I felt it is only right that I buy this particular pair. It was not cheap but not the most expensive pair either. Then, he also got me some new training clothes so now I really have no reason not to resume training.

How did it go? Well, last week I only manage to exercise 2 days out of 7. But today I can proudly say that I begin the day by eating a chocolate doughnut and promptly goes to the gym to walk it off. Tomorrow, I promise myself that I will train again. Cross fingers this week will go better than last week 😉

Posted in Notes

Jadi Guru

Ternyata, menjadi guru itu menyenangkan ya Jadi ceritanya sekarang saya bersama teman saya, Dita dan BJ, mengajar kelas menulis di School for Broadcast Media untuk kelas Basic Writing For Media. Hari ini giliran saya yang cuap2 karena topiknya Televisi. Kemaren rapat berdua sama Dita membahas apa dan bagaimana kelas. Wah karena cuma berdua, mau nggak mau kan harus konsen terus tuh, jadinya capek banget. Dah lama nggak rapat, dah nggak inget deh kenapa kalau rapat tuh harus ada sneknya. hehehe…

So anyway, hari ini hari cuap-cuap. Deg degan juga sih. Tapi alhamdulillah bisa dijalankan dengan lancar. Mudah2an murid2nya juga menangkap apa yang disampaikan. Kayaknya sih nangkep kita lihat saja nanti prnya bagaimana.

Wish me luck!

Posted in Random Musings

Boro-boro bojo loro?

Konon, ada seorang suami yang punya istri dua, konon katanya untuk meringankan beban istri pertamanya. Tadinya istrinya sedih, tapi lama-lama dia beradaptasi dengan situasinya. Saking adaptasinya sampai dia kadang-kadang menolak suaminya lalu berkilah, silahkan kunjungi yang satu lagi, yang konon lebih muda dari dia. Eh sialnya, kadang si istri muda entah merasa nggak enak atau apa terkadang disaat yang sama juga berkilah demikian, silahkan waktunya hari ini untuk istri yang disana. Saking berhasilnya si suami ‘meringankan’ beban istri-istrinya akhirnya dia bermalam deh di masjid karena ditolak kiri-kanan.

Entah cerita ini benar atau hanya gurauan, tapi kepikiran gak ya sama si suami sebelum dia menikah lagi akan kemungkinan seperti ini? Enggak kali ya.

Oh well, kudu banyak doa dan jangan sombonglah. Doa doa doa. tidak ada jalan lain selain doa.

Posted in Notes

Jodoh ke 2

Mencari jodoh untuk menikah kadangkala susahnya minta ampun. Sudah dicari kesana kemari kadang tak kunjung muncul juga itu jodoh.Untuk yang pertama kali aja susah, apalagi kalau untuk kedua kalinya. Tidak, bukan untuk beristri dua, tapi karena pernikahan pertama sudah bubar dan yang bersangkutan merasa perlu untuk menikah lagi. Tak bisa dibayangkan betapa repotnya mencari jodoh yang kedua.

Pertama, si dia harus mengobati lukanya setelah ternyata seseorang yang diharapkan bisa bersama sampai maut memisahkan ternyata menunjukkan kenyataan lain. Meski sudah dengan segala daya dan upaya, ketidak cocokan itu bukannya makin mengecil malah makin mendalam. Sehingga akhirnya dengan berat hati, terpaksalah dia menerima kenyataan bahwa tali pernikahannya sudah terurai. Talak pun dijatuhkan.

Luka hatinya harus dikesampingkan dulu karena sekarang tanggung jawabnya menjadi berlipat. Ada tiga mahluk mungil tak bersalah yang harus dia jaga hatinya. Menjadi orang tua tunggal sungguh tidak ringan. Apalagi ketika sang mantan, mungkin karena masih sakit hati, tidak mau bekerja sama dan malah mengacaukan jadwal yang sudah disusun. Terpaksalah bisnisnya dikesampingkan. Usaha yang seharusnya bisa maju menjadi mandek karena perhatiannya terfokus untuk mengurus ketiga anak-anaknya. Untung masih ada Bunda tercinta yang terkadang membantu mengurus cucu-cucunya. Namun tetap saja, waktunya dan tenaganya seringkali habis terpakai, hanya menyisakan waktu untuk terkapar sendirian tanpa ada teman untuk berbagi.

Ketika trauma mulai mereda, dia mulai mencoba taaruf lagi. Ah, ternyata sulit ya. Jauh lebih sukar. Lebih banyak yang harus dipertimbangkan. Ada anaknya, ada pula anak dari sebelah, belum lagi bila nanti punya anak lagi. Wah, jadi banyak sekali anak-anak! Yang ini gagal. Tidak putus asa, coba lagi. Namun kali ini ternyata sang calon masih sangat bersemangat untuk mengejar karir. Rasanya tidak akan jalan juga. Kecewa dua kali gagal, dia memutuskan untuk tenang-tenang saja dulu dan menikmati hari-harinya bersama anak-anaknya . Toh rumahnya tidak pernah sepi dengan kegaduhan tiga anak berebutan kamar mandi, acara tivi, main PS dan perang-perang lainnya layaknya kakak beradik.

Perlahan tapi pasti anak-anaknya membesar. Satu-persatu mereka lulus SD, menjadi anak SMP kemudian mengenakan seragam putih-abu dan kini yang terbesar sudah tinggal menunggu bulan untuk menjadi mahasiswa. Hmm… mungkin saatnya untuk mencoba ‘peruntungan jodoh’ lagi. Belum lagi desakan Bunda yang tidak pernah putus mengkhawatirkan dirinya.

Cari punya cari, bertemulah. Namun, keragu-raguan itu tetap ada. Bagaimanapun pasti tidak akan mudah untuk yang satunya lagi untuk menyesuaikan diri dengan dia dan anak-anaknya setelah mereka terbiasa hidup hanya berempat sekian lama. Belum lagi memikirkan kemungkinan mengurus bayi kecil lagi. Lagi? Setelah si sulung bercelana panjang berwarna abu-abu? Oh!

Bunda sudah gemas saja, berulang kali menanyakan kapan, kapan, dan kapan. Dia tersenyum. Terbersit kekhawatiran di matanya. Tapi dia tentu tak bisa hanya diam ditempat. Dia harus berusaha dulu kecuali dia ingin sendiri terus dan nampaknya opsi itu tidak terlalu menyenangkan ketika anak-anak sudah lepas dari rumah nanti. Namun, ah, nampaknya jodoh masih belum mau berlabuh. Setelah sekian lama berdoa dan menanti lampu masih belum hijau. Mungkin belum mencari yang cocok, mungkin hati masih belum teguh, mungkin mungkin mungkin… Seribu mungkin tentang taarufnya yang gagal maning gagal maning. Masihkah ada jodoh untuknya? Jodoh memang tak kan lari bila dikejar, tapi dimanakah kau agar bisa dikejar?

Mantapkan hati, ubah cara pandang. Ikhtiar, istikarah. Ikhitar, istikarah. Ikhtiar, istikaran. Mudah-mudahan ya Allah, mudahkanlah jalannya.

Cilandak, 8 Mei 2008

Posted in Free Verse

6 Tahun

Tak terasa
sudah 6 tahun
kita bersama
menapak hari-hari ceria
hari-hari berduka
hari-hari bersama

dari sendiri
beramai-ramai
kemudian berdua
bertiga
lalu berempat
dan jangan lupa
rombongan penggembira

Kita sempat terpisah
melepaskanmu
demi ilmu

bulan-bulan penuh rindu
penuh doa
penuh makna

Tapi itu
cerita masa lalu
episode rindu
usai dulu

sekarang kita
bersama-sama

berjuang
berusaha
menjadi Ayah
menjadi Ibu
menjadi Kekasih

aih!

setelah 6 tahun
sungguh banyak
peran kita

padahal ini
baru awalan
petualangan masa depan
siap menanti

siapkah kamu?
siapkah aku?

Selama Dia
bersama kita
tak ada ragu
bersamamu

Cilandak, 6 Mei 2008
just after the day, for you, for the next 6 years and more!

Posted in Random Musings

Tugas Aktor

Apa tugas aktor? Mengintip catatan kuliah dulu – yang cuma nyerempet dikit soal akting – tugas aktor ya memerankan karakternya sebaik mungkin. Karena itu riset dan belajar merupakan bagian penting dari tugas seorang aktor. Belajar aksen baru, keahlian baru semisal memainkan alat musik, berkuda, main anggar, dll. Meriset profesi lain semisal menjadi dokter, pengacara, polisi, supir bus umum. Kalau sudah nonton Speed, mau tau kenapa Sandra Bullock bisa terlihat begitu nyaman mengemudikan bus kota? Karena untuk peran tersebut tante Sandra memang ikut pelatihan supir bus dan punya SIM khusus supir. Kalau mau tante Sandra bisa tuh ganti profesi jadi supir bus Los Angeles. Atau aksen Inggris neng Renee Zellweger di Bridget Jones Diary, gerak-gerik Dustin Hoffman sebagai penderita Autis di Rain Man, semua sangat meyakinkan berkat riset mereka yang mendalam atas perannya masing-masing.

Karena itu sangat disayangkan kalau ada yang menyangsikan kemampuan akting seorang aktor, semata-mata berdasarkan kehidupan pribadinya. Lho, apakah tidak penting? Tentu saja penting. Produser juga berkepentingan memilih aktor yang mempunyai citra baik dimata penonton dan juga berkelakuan baik untuk kelancaran proses produksi. Aktor-aktor yang susah disiplin waktu, meski kemampuan aktingnya piawai, bisa membuat produser dan sutradara berpikir ulang untuk mengcastingnya. Juga mereka yang punya kebiasaan buruk apalagi pengguna narkoba. Wah, bisa dipastikan produser enggan memilih mereka karena risikonya terlalu besar. Kalau datangnya telat terus sehingga memperlama jalannya produksi membuat biaya produksi naik. Kalau pengguna narkoba, pas tengah2 produksi ditangkep polisi, berabe dong. Mending kalau cuma ditangkap, kalau trus OD? Bubar jalan blas, musti re-shoot.

Tentu setiap produksi berbeda. Ada proyek2 tertentu dimana pemainnya harus sudah memiliki keahlian tersebut, misalnya film tentang penari balet. Mau nggak mau tokoh-tokoh utamanya haruslah seorang penari balet yang bisa berakting untuk mempermudah produksi. Tentu juga sebaiknya pemain yang dicasting cocok dengan perannya, misalnya perannya adalah seorang Cina yang sipit dan putih, jangan dong castingnya aktor Irian yang hitam dan sama sekali tidak sipit. Nggak nyambung gitu. Tapi untuk kebanyakan proyek film, semua keahlian yang dimiliki karakternya bisa dipelajari asalkan diberi waktu yang cukup.

Karena itu, kita sebagai penonton janganlah terlalu kaku dalam menilai pemain dan pemeran. Jangan kita memaksakan kehendak, pemainnya harus juga seperti karakternya karakter orang baik harus juga dimainkan oleh orang yang alim dan jujur, nggak boleh dimainkan pemain yang meski baik tapi hobi dugem. Jadi aja pelemnya jelek, abis pemainnya di kehidupan sebenarnya nggak pake kerudung sih. Lho? Lha kalau ceritanya tentang pembunuh, pencuri, dan koruptor jadi castingmya harus di Cipinang, Kejaksaan, serta Nusa Kambangan?

Posted in Rants

dari novel ke film

Ini topik basi kali ya. Cuma gemes aja yang belum keluar. Kenapa ya disini kita tu suka sibuk banget mikirin hal-hal yang sebetulnya, diskala yang luas tidak terlalu penting. Memfilmkan novel Islami misalnya. Di satu sisi orang ribut soal pemain, harus yang beginilah harus yang begitulah sementara stok pemain yang begini dan begitu praktis nggak ada. Lha piye tha?

Dalam film, yang penting pemain yang dipilih mampu mendalami karakternya serta berperan meyakinkan sebagai karakter itu. Kalau tidak, pasti filmnya bakalan basi banget. Sebagai medium visual, film tidak memberikan ruang imaginasi seluas novel. Kita hanya mendapatkan apa yang kita lihat saja. Karena itu kemampuan beraktinglah yang seharusnya menjadi pilihan utama dalam menentukan pemeran. Ketika ada beberapa calon kuat untuk satu peran, barulah hal-hal yang lain menentukan.

Kemudian, kalau cerita asalnya itu memang melodrama, mau dibalut bagaimanapun, kemungkinan besar tetap akan menjadi melodrama. Nggak mungkin tiba2 berubah jadi film thriller misalnya. Jadi ya kalem ajalah. Begitu nonton dan ternyata pelemnya nyinetron, ya mau bagaimana lagi wong dari awal emang dasar ceritanya nyinetron gitu kok.

Trus yang juga bikin gemes adalah soal detail film. Betul sih memang detail itu penting dan bisa merubah sesuatu dari sangat meyakinkan menjadi sangat tidak masuk akal, misalnya karakternya baru bangun tidur tapi rambutnya sudah rapi bersasak dan full makeup seperti pengantin jelas sangat tidak masuk akal. Namun tatacara kecil, misalnya makan pakai tangan kiri, memang mengganggu dan untuk sebagian orang mungkin sangat penting, tapi apabila yang penting di adegan itu adalah dialognya dan bukan cara makannya, janganlah detail kecil itu dipermasalahkan sedemikian rupa sehingga menganggap film itu film jelek.

Padahal buat orang lain itu film bisa jadi sangat mencerahkan, ada hal2 yang tadinya dia tidak tau sekarang jadi tahu. Bagus kan? Jadi daripada sibuk meributi hal2 kecil, mengapa tidak fokus ke hal yang lebih positif saja, bukankah yang demikian itu lebih baik?